MAKALAH
“
KAPITA SELEKTA”
Diajukan
untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat tugas pada mata kuliah KAPITA SELEKTA
Disusun oleh
IDA MULYATI
NPM : 10210276
SEMESTER
VI
JURUSAN
TARBIYAH
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM ( PAI )

SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM
STAI MA’ARIF
METRO
TAHUN AKADEMIK
2012 / 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan
ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak
heran bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi
pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai
dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.
Metode dalam pendidikan Islam merupakan suatu metode yang khas dan tersendiri, baik dari segi alat-alat maupun segi tujuan-tujuannya, dengan suatu bentuk yang nyata dan menarik perhatian serta membangkitkan minat untuk memiliki sumber ideologinya yang khas dalam perjalanan sejarah. Ruang lingkup dan keleluasaan system pendidikan islam tidak boleh keluar dari keterpaduan tujuan dan cara.
Didalam sistem pendidikan islam terdapat satu cara dan satu tujuan untuk
dapat menyatukan kepribadian yang pecah untuk dapat mencapai satu tujuan yang
lurus dan bulat. Inilah keistimewaan dari sistem pendidikan islam yang berbeda
dengan sistem pendidikan buatan manusia yang pada umumnya memiliki tujuan yang
relatif sama meskipun alat-alat yang digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut
berbeda-beda sesuai dengan pengaruh lingkungan dan kondisi sejarah, sosial,
politik dan sebagainya.Sistem pendidikan buatan manusia pada umumnya bermuara
dalam suatu tujuan pendidikan yaitu membentuk “ nasionalisme sejati “.
Sedangkan islam, tidak mengurung dirinya pada batas-batas yang sempit itu dan
tidak hanya berusaha membentuk “ nasionalis sejati “ akan tetapi berusaha untuk
mewujudkan suatu tujuan yang lebih besar dan menyeluruh, yaitu membentuk “
manusia sejati”.
Islam dalam membentuk manusia yang baik itu tidak membiarkan manusia berada dalam kebimbangan dan terus menerus berjalan didalam kegelpan, dimana masing-masing membentuk dirinya menurut kemauannya sendiri. Akan tetapi islam menetapkan ciri-ciri manusia secara cermat dan jelas, serta menggaris strategi yang dapat mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani atau rohaninya agar mencapai kedewasaannya.Mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah,Khalifah di permukaan bumi,sebagai makhluk sosisal dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Dalam pengertian yang sederhana, penididik adalah orangyang memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak didik, sedangkan dalam pandangan masyarakat pendidik adalah orangyang
melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga
pendidikan formal,tetapi bisa jugadi masjid, di surau / mushalla,di rumah dan
sebagainya.
Istilah lain yang lazim di pergunakan untuk pendidik ialah guru.Kedua
istilah tersebut bersesuaian artinya,bedanya ialah istilah guru sering kali di
pakai di lingkungan pendidikan formal.Sedangkan pendidikan di pakai di
lingkungan formal,informal maupun non formal.
Abudin Nata menjelaskan jika kita mencoba mengikuti petujuk al-Qur’an, akan
di jumpai informasi bahwa secara garis yang menjadi pendidik dalam perspektif
Islam ada empat :
1. Allah SWT
2. Rasul, Muhammad SAW
3. Orang tua
4. Orang lain
Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna
peserta didik yaitu murid, al-tilmidz, dan al-thalib. Murid berasal dari kata
Arada-yuridu-Iradatan-Muridan, yang berarti orang yang menginginkan (the
willer).Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang
yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman
dan kepribadianyang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan
akhiratdengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.
Sedangkan al-tilmidz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar.Kata ini di gunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di Madrasah.Sementara al-thalib berasal dari thalaba-yathlubu-thalaban-thalibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan.dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.Kemudian,dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya di bedakan berdasarkan tingkatan peserta didik.Murid untuk sekolah dasar, al-tilmidz untuk sekolah menengah dan al-thalib untuk perguruan tinggi.
Namun, menurut Abudin Nata istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Ahmad Tafsir dalam uraiannya menyimpulkan bahwa tugas guru (pendidik) dalam
Islam adalah mendidik muridnya (peserta didik) dengan cara mengajar dan dengan
cara-cara lainnya, menuju tercapainya perkembangan maksimal sesuai dengan
nilai-nilai Islam. untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara
maksimal, sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Tentang umur (harus sudah dewasa).
2. Tentang kesehatan (harus sehat jasmani
dan rohani).
3. Tentang kemampuan mengajar (harus ahli).
4.
Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi dan berkepribadian muslim.
Menurut Ummu Yasmin ada beberapa hal yang harus di miliki oleh seorang
pendidik:
1.
Memiliki kepribadian muslim.
2. Memiliki fikrah (pola pikir) yang benar
tentang Islam, akidah yang dalam, dan amal yang berkelanjutan
3.
Memiliki tsaqofah Islamiyah yang cukup dengan menguasai madah
(materi-materi) pendidikan.
Dan syarat yang lebih erat hubungannya dengan tugas guru di sekolah
meliputi :
1.
Guru harus adil, Percaya dan suka pada muridnya.
2. Sabar dan rela berkorban,.
3. Berwibawa, pengembira, baik kepada rekan
guru yang lain dan masyarakat.
4.
Menguasai mata pelajaran, suka kepada pelajarannya dan berpengetahuan
luas.
Dari keterangan di atas maka dapat di simpulkan bahwa pendidik atau guru
adalah orang dewasa yang mempunyai ketakwaan kepada Allah SWT. berakhlak baik,
sehat jasmaniah dan pengetahuan yang luas.
1. Tugas Pendidik
Adapun tugas pendidik meliputi :
1.
Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan, dan
pengalaman-pengalaman.
2. Membentuk kepribadian anak yang
harmonis, sesuai cita-cita dan dasar negara kita pancasila.
3. Menyiapkan anak menjadi warga Negara
yang baik seesuai undang-undang pendidikan yang merupakan keputusan MPR No. II
Tahun 1983.
4. Sebagai perantara dalam belajar.
5. Pendidik adalah sebagai pembimbing,
untuk membawa anak didik ke arah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak
dapat membentuk anak menurut sekehendaknya.
6. Pendidik sebagai penghubung antara
sekolah da masyarakat.
7. Sebagai penegak disipin, pendidik
menjadi contoh dalam segala hal, tata tertib dapat berjalan baik bila pendidik
dapat menjalani lebih dahulu.
8. Pendidik sebagai administrator dan menejer
9. Pendidik sebagai perencana kurikulum
10. Pekerjaan pendidik sebagai suatu
profesi.
11. Pendidik sebagai pemimpin
12. Pendidik sebagai sponsor dalam kegiatan
anak-anak
2. Tanggung Jawab Pendidik
Orang pertama yang bertanggung jawab tehadap perkembangan anak atau
pendidikan anak adalah orang tuanya, hal ini di karenakan adanya pertalian
darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa
depan anaknya. Orang tua di sebut juga sebagai pendidik kodrat. Tetapi karena
dari pihak orang tua tidak mempunyai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka
mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang di kira
mampu dan berkompoten untuk melaksanakan tugas mendidik.Tanggung jawab seorang
pendidik di antaranya :
1.
Bertanggung moral
2. Bertanggung jawab dalam bidang
pendidikan
3. Bertanggung jawab kemasyarakatan
4. Bertanggng jawab dalam bidang keilmuan.
3. Sifat-sifat yang harus di miliki
Pendidik
Adapun menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi, bahwa seorang pendidik
harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia dapat melaksnakan tugas-tugasnya
dengan baik, seperti yang di ungkapkan oleh beliau adalah :
1.
Memiliki sifat zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan mengajar
karena mencari ridha Allah
2. Seorang guru harus jauh dari dosa besar.
3. Ikhlas dalam pekerjaan.
4. Bersifat pemaaf.
5.
Harus mencintai peserta didiknya.
Anak Didik Dalam Perspektif,Peserta didik dalam perspektif Pendidikan Islam
adalah sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah
orangyang belajar untuk menemukan ilmu, karena dalam Islam di yakini ilmu hanya
berasal dari Allah,maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah denan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada
perintah-Nya. Namun untk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut,
seorang peserta didik mesti belajar pada orangyang telah di beri ilmu, yaitu
guru atau pendidik.
Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karekteristik tersendiri yang sesuai dengan karekteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karekteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat di telusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus di miliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang di kehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik. Tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.
4. Pendidik Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para Nabi. Ini bisa di lihat misalnya pada contoh hadits berikut : “…..اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ…..”
Artinya :….para ulama (pendidik ) adalah pewaris para Nabi (dari Abu Darda r. a dan di riwayatkan oleh Ibnu Majah)
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. memberikan perhatian yang besar trhadap “pendidik” sekaligus mmberikan posisi terhormat keadanya. Hal ini beralasan mengingat kepada peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang di bawa oleh Rasulullah SAW.
B. Pengertian Peserta Didik
Dalam usaha mendefenisikan istilah peserta didik, terlebih dahulu perlu
dipahami beberapa sebutan lain dalam Bahasa Indonesia, yaitu istilah murid, dan
peserta didik. Istilah murid dipahami sebagai orang yang sedang belajar,
menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Peserta didik dipahami
sebagai pendidik menyayangi murid sebagaimana anaknya sendiri dan dalam hal ini
faktor kasih sayang pendidik terhadap peserta didik dianggap kunci keberhasilan
pendidikan. Adapun istilah peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir,
istilah ini menekankan pentingnya peserta didik berpartisipasi dalam proses
pembelajaran. Dengan demikian, menurut Ahmad Tafsir yang dikutip oleh Zainuddin
et.al perubahan sebutan dari murid ke peserta didik lalu menjadi peserta didik,
bermaksud memberikan perubahan pada peran peserta didik dalam proses belajar
mengajar.Pendidikan umum, mengartikan peserta didik sebagai raw input (masukan
mentah) dalam proses trnsformasi yang disebut dengan pendidikan (Muri
Yusuf,1982:37). Lebih jauh dijelaskan bahwa peserta didik adalah anak yang
sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis (Muhaimin dan
Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga
pendidikan.
Pertumbuhan adalah perubahan yang terjadi dalam diri peserta didik secara
alami yang ditandai oleh pertumbuhan tubuh menjadi bertambah besar. Adapun
perkembangan adalah yang menyangkut jasmaniyah dan ruhaniah (Muri Yusuf:37).
Dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan yang masih berjalan, maka peserta
didik dianggap belum dewasa hingga membutuhkan bimbingan orang lain untuk
menjadikannya dewasa (Abdul Mujib: 177). Sebab pendewasaan merupakan tujuan
dari pendidikan. Bimbingan dapat diberikan dalam berbagai lingkungan
pendidikan, yakni lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Abdul Mujib:25).
Menurut George R. Knight , sebagaimana dikuti oleh Abd. Rahman Assegaf
dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, siswa atau peserta didik
dipandang sebagai anak yang aktif, bukan pasif yang hanya menanti guru untuk
memenuhi otaknya dengan berbagai informasi.Siswa adalah anak yang dinamis yang
secara alami ingin belajar, dan akan belajar apabila mereka tidak merasa putus
asa dalam pelajarannya yang diterima dari orang yang berwenang atau dewasa yang
memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka. Dalam hal ini, Dewey
menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi aktif. Membicarakan
pendidikan berarti membicarakan keterkaitan aktivitasnya, dan pemberian
bimbingan padanya.
Peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek
pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik
perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya
secara umum peserta didik memiliki lima ciri, yaitu:
§ Peserta didik dalam keadaan sedang
berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan ,
kemauan dan sebagainya.
§ Mempunyai keinginan untuk berkembang
kearah dewasa.
§ Peserta didik mempunyai latar belakang
yang berbeda.
§ Peserta didik melakukan penjelajahan
terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara
individu.
Literatur pendidikan terkni menuliskan bahwa sebutan anak didik telah
berubah menjadi peserta didik. Hal ini dikarenakan adanya pandangan pencerahan
bahwa peserta didik pada setiap proses interaksi dan komunikasi terhadap
sumber, dan bersifat sebagai objek juga sebagai subjek. Ketika potensi anak
masih minimal dan membutuhkan pertolongan manusia dewasa, maka sebutan yang
lebih tepat adalah peserta didik (objek) yang aktif. Akan tetapi, ketika ia
telah merespons setiap stimulus yang datang dengan motivasi yang telah
terbangun, ia pun aktif secara fisik dan mental mencari, merespon bahkan menemukan
sendiri informasi yang diinginkannya, maka sebutan baginya adalah peserta didik
(subjek) yang aktif.
Defenisi lain dalam khazanah pendidikan Islam klasik, al-Subkiy menggunakan
term thalib (jamak : thalabat atau thullab), mutafaqqih (jamak : mutafaqqihun),
faqih (jamak : fuqaha) dan tilmizd (jamak : talamizd) untuk menunjukkan pada
penuntut ilmu (pelajar) pada madrasah Nizhamiyah. Imam al-Haramayn
disebut-sebut pernah memakai perkataan faqih untuk menyapa murid-muridnya.
Mengenai hal ini, al-Subkiy melukiskan dengan indah sebuah dialog singkat yang
terjadi antara al-Juwayni dan murid kesayangannya, al-Ghazali, dalam bukunya
berjudul thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra.
Term faqih dalam dialog dibuku tersebut menunjuk kepada al-Ghazali yang
dimaksud dengan faqih adalah orang yang mempelajari ilmu fiqih dan istilah ini
identik dengan istilah mutafaqqih. Sementara istilah thalib (penuntut ilmu)
biasa dipakai untuk orang yang belajar ilmu agama atau ilmu umum sebab
kedua-duanya disuruh dalam agama. Bedanya kalau yang pertama hukumnya menjadi
kewajiban bagi setiap muslim (fardhu ‘ain), maka yang kedua hukumnya menjadi
kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Sedangkan istilah tilmidz (murid) berasal
dari akar kata talammaza artinya belajar, bisa dua-duanya, agama maupun umum.
Berbeda dengan al-Juwayni, al-Ghazali memakai term thalib ketika menyebut
murid-muridnya di madrasah Nizhamiyah Baghdad. Beliau menjelaskan bahwa orang
yang mempelajari ilmu kalam, kebathinan, filsafat dan sufi disebut thalib. Dari
keterangan al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa wacana ilmiah dan kegiatan studi
murid-murid madrasah Nizhamiyah Baghdad dibawah asuhannya meliputi semua ilmu
tersebut.
Secara umum dalam pendidikan Islam pada hakikatnya Allah Swt. Merupakan
murabbi, mu’allim atau mu’addib, yang diistilahkan dengan pendidik. Dialah yang
mencipta dan memelihara (mendidik) seluruh makhluk didunia ini termasuk
manusia, baik dalam artian tarbiyah, ta’alim, maupun ta’dib. Dengan demikian,
dalam perspektif falsafah pendidikan Islam seluruh makhluk ciptaan Allah Swt
merupakan peserta didik. Namun secara khusus dalam pendidikan Islam, peserta
didik adalah seluruh al insan, al-basyar atau bani adam yang sedang menuju
al-insan al-kamil, baik dalam pengertian jismiyah maupun ruhiyah.
C. Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta didik,
tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat manusia,
karena manusia hasil dari suatu proses pendidikan. (Abdurrahman
Shaleh,1990:45). Menurut konsep ajaran Islam manusia pada hakikatnya, adalah
makhluk ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan melalui proses pertumbuhan
dan perkembangan yang berlangsung secara evolutif, yaitu melalui proses yang
bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki bentuk yang lebih baik,
lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk lain ciptaan Allah, hingga
manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi lain manusia merupakan
makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena manusia dianugerahi sejumlah
potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara lain gambaran tentang pandangan
Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan acuan pandangan mengenai hakikat
peserta didik dalam pendidikan Islam. Peserta didik dalam pendidikan Islam
harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan hakikat yang disandangnya
sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam peserta didik
tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan, melainkan pula sekaligus sebagai
subyek pendidikan.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, semua makhluk pada dasarnya
adalah peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim, atau
muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk
ciptaan-Nya. Dialah yang mencipta dan memelihara seluruh makhluk. Pemeliharaan
Allah Swt mencakup sekaligus kependidikan-Nya, baik dalam arti tarbiyah,
ta’alim, maupun ta’adib. Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam,
peserta didik itu mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin,
manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.
Namun, dalam arti khusus dalam perspektif falsafah pendidikan Islami
peserta didik adalah seluruh al-insan, al-basyar, atau bany adam yang sedang
berada dalam proses perkembangan menuju kepada kesempurnaan atau suatu kondisi
yang dipandang sempurna (al-Insan al-Kamil). Terma al-Insan, al-basyar, atau
bany adam dalam defenisi ini memberi makna bahwa kedirian peserta didik itu
tersusun dari unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki kesamaan universal,
yakni sebagai makhluk yang diturunkan atau dikembangbiakan dari Adam a.s.
kemudian, terma perkembangan dalam pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan
kedirian peserta didik, baik dari fisik (jismiyah) maupun diri psikhis
(ruhiyah) – aql, nafs, qalb – agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara
sempurna. Misalnya, ketika dilahirkan, fisik manusia dalam keadaan lemah dan
belum mampu mengambil atau memegang benda dan kaki belum mampu melangkah atau
berjalan.
Demikian benda dan kaki belum mampu melangkah atau berjalan. Demikian juga,
ketika dilahirkan dari rahim ibunya, ‘aql manusia belum dapat difungsikan untuk
menalar baik buruk atau benar salah. Melalui proses ta’lim, tarbiyah, atau
ta’dib, secara bertahap, ‘aql manusia diasah, dilatih, dan dibimbing melakukan
penalaran yang logis atau rasional, sehingga ia mampu menyimpulkan baik-buruk
atau benar-salah. Demikiah juga nafs, ketika manusia dilahirkan dari rahim
Ibunya, ia hanya cenderung pada pemenuhan kehendak atau kebutuhan jismiyah,
terutama makan-minum. Melalui proses ta’lim, tarbiyah atau ta’dib, nafs manusia
dilatih dan dibimbing untuk melakukan pengendalian, pemeliharaan, dan pensucian
diri. Akan halnya qalb, ketika manusia dilahirkan dari rahim ibunya, ia hanya
potensi laten yang belum mampu menangkap cahaya (al-nur) dan memahami kebenaran
(al-haqq). Kemudian, melalui proses ta’lim, tarbiyah atau ta’dib, qalb manusia
dibimbing sehingga mampu menangkap cahaya (al-nur) dan memahami kebenaran
(al-haqq) serta hidup sesuai dengan cahaya dan kebenaran tersebut.
Dalam pengertian di atas, yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah suatu
keadaan dimana dimensi jismiyah dan ruhiyah peserta didik, melalui proses
ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan
untuk mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh
daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa al-ruhiyah). Dalam perspektif ini,
secara sederhana, kesempurnaan dimensi jismiyah adalah suatu kondisi dimana
seluruh unsur atau anggota jasmani manusia mencapai tingkatan terbaik dalam
kemampuannya melakukan tugas-tugas fisikal-biologis, seperti bergerak,
berpindah dan melakukan berbagai aktivitas fisikal lainnya. Demikian pula
halnya dengan kesempurnaan dimensi ruhiyah. Dalam makna ini, ‘aql, nafs, dan
qalb peserta didik mencapai tingkatan terbaik dalam berpikir atau menalar
(al-‘aql al-mustasyfad), dalam mengendalikan dan mensucikan diri (al-nafs al-muthmainnah),
dan dalam menangkap cahaya dan memahami kebenaran (qalb al-salim).
Berdasarkan pengertian di atas, dalam perspektif falsafah pendidikan
Islami, pada hakikatnya semua manusia adalah peserta didik. Sebab, pada
hakikatnya, semua manusia adalah makhluk yang senantiasa berada dalam proses
perkembangan menuju kesempurnaan, atau suatu tingkatan yang dipandang sempurna,
dan proses itu berlangsung sepanjang hayat.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Rasyidin yang dikuti oleh Zainuddin
et.al dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, setidaknya ada 3 istilah peserta
didik yang dapat dirangkum dalam esensi filsafat pendidikan Islam.
Ketiga istilah tersebut yaitu pertama, term mengandung pengertian bahwa
peserta didik dalam arti mutarabbi manusia yang selalu memerlukan pendidikan,
baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik – biologis, penambahan
pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta
pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan
tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi
alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta didik mempelajari semua al-asma’kullah
yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian
pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia
ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap
apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu
sendiri dalam filsafat pendidikan Islam. Ketiga, muta’addib, merupakan proses
pendisiplinan adab ke dalam jism, dan ruhnya, sehingga akal, ruh dan hatinya
pendisiplinan adab melalui mua’dib (pendidik). Esensinya dalam mutaadib dalam
pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata hubungan komunikasi
antara manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya dan mahkluk Allah lainnya termasuk
dalam semesta ini serta juga kepada sang pencipta dan pemelihara serta pendidik
alam semesta.
Dalam buku Filsafat pendidikan Islam yang ditulis oleh Hasan Basri,dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat peserta didik terdiri dari
beberapa macam :
§ Peserta didik adalah darah daging sendiri,
orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi
anak didiknya di dalam keluarga.
§ Peserta didik adalah semua anak yang
berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun non
formal, seperti disekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah
keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim, dan
sejenis, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu
sekali atau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat
dipandang sebagai anak didik
§ Peserta didik secara khusus adalah orang
–orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan,
pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses
kependidikan.
Beberapa hal yang terkait dengan hakekat peserta didik yaitu :
§ Peserta didik bukan miniatur orang dewasa,
ia mempunyai dunia sendiri.
§ Peserta didik mengikuti periode-periode
perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan
§ serta tempo dan iramanya, yang harus
disesuiakan dalam proses pendidikan.
§ Peserta didik memiliki kebutuhan
diantaranya kebutuhan biologis, rasa aman, rasa kasih sayang, rasa harga diri
dan realisasi diri.
§ Peserta didik memiliki perbedaan antara
individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor
endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani,
intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
§ Peserta didik dipandang sebagai kesatuan
sistem manusia, walaupun terdiri dari banyak segi tetapi merupakan satu
kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
§ Peserta didik merupakan obyek pendidikan
yang aktif dan kreatif serta produktif. Anak didik bukanlah sebagai objek pasif
yang biasanya hanya menerima, mendengarkan saja (Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993
: 177-181)
D. Potensi/Fitrah Peserta Didik
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna (melebihi
malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia
tidak dapat bertanggungjawab sebagai khalifah Allah dengan baik dan benar, maka
kedudukan manusia lebih rendah dari binatang.Karena itu, agar dapat menjalankan
fungsi kekhalifahanya dimuka bumi, manusia di karuniai beberapa kekuatan yang
dapat menimbulkan kreativitas untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia
potensi-potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan.
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan tujuan. Hal ini
tergambar dalam dialog Allah dan malaikat diawal penciptaannya. Tujuan
penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah sebagai khalifah. Dalam
kedudukan ini, manusia tidak mungkin mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya,
tanpa dibelakangi dengan potensi yang memungkinkan dirinya mengemban tugas
tersebut.Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan
fitrah manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem
yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan
dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan
dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat
diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia
sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang
meliputi potensi seluruh dimensi manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia itu terlahir
dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah
menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis bahwa semakin
baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan fitrah
seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah lakunya. Namun demikian,
pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis manusia, sedangkan dosa balik itu
dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu hidayah dari Allah SWT sebagai penentu
yang Maha final.
Dalam perspektif Islam, potensi atau fitrah dapat dipahami sebagai
kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu :
§ Hidayah wujdaniyah yaitu potensi manusia
yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat
manusia dilahirkan di muka bumi.
§ Hidayah hisysyiyah yaitu potensi Allah
yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan
§ indrawi sebagai penyempurnaan hidayah
wujudiyah.
§ Hidayah aqliah yaitu potensi akal sebagai
penyempurnaan dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mampu
berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas
yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
§ Hidayah diniyah yaitu petunjuk agama yang
diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut
keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah
§ Hidayah taufiqiyah yaitu hidayah yang
sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia,
tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk
itu, agama menuntut agar manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi
petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam
keridhaan Allah.
Quraish Shihab berpendapat bahwa menyukseskan tugas-tugas kekhalifan di
muka bumi, Allah memperlengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara
lain :
§ Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat,
fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergambar dalam firman Allah
SWT : “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.” (QS. 2
:31)
§ Ditundukkan bumi, langit dan segala
isinya, binatang-binatang, planet dan sebagainya olah Allah kepada manusia (QS.
45: 12-13)
§ Potensi akal fikiran serta panca indera
(QS. 67:23)
§ Kekuatan positif untuk merubah corak
kehidupan manusia (QS. 13:11)
Disamping potensi yang bersifat di atas, manusia dilengkapi dengan potensi
yang bersifat negatif yang merupakan kelemahan manusia, yaitu : pertama,
potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa, nafsu dan syetan. Hal ini
digambarkan dengan upaya syetan menggoda Adam dan Hawa, sehingga keduanya
melupakan peringatan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang (QS. 20 :
15-24). Kedua, banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia,
khususnya menyangkut diri, masa depan, dan banyak hal lain yang menyangkut
kehidupan manusia.
Dalam pandangan lain, Hasan Langulung memandang bahwa pada prinsipnya
potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul pada sifat-sifat Allah
(asma’ul husna). Sebagai contoh sifat al-ilmu yang dimiliki Allah, maka
manusiapun memiliki tersebut. Dengan sifat al- ilmu, manusia senantiasa
berupaya untuk mengetahui sesuatu. Untuk mengaktiftkan potensi ini, maka Allah
menjadikan alam dan isinya termasuk diri manusia sebagai ayat Allah yang harus
dibaca dan dianalisa. Namun demikian, bukan berarti kemampuan manusia sama
tingkatannya dengan kemampuan Allah. Hal ini disebabkan karena perbedaan
hakekat keduanya. Manusia memiliki keterbatasan, sedangkan Allah tanpa batas.
Dari keterbatasan tersebut, menjadikan manusia sebagai makhluk yang memerlukan
bantuan untuk memenuhi keinginannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan
keterbatasan-nya dan ke-Mahakuasaan Allah. Dengan potensi ini, manusia dituntut
untuk senantiasa memiliki jalinan rohani kepada Allah, baik memiliki zikir atau
aktivitas zikir lainnya, mengingat manusia adalah ciptaan Allah yang dependen
pada yang Maha Pencipta.
Karena adanya potensi yang positif dan negatif serta keterbatasan manusia,
maka Allah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi pada manusia agar ia
mampu mengetahui hakekat dan petunjuk-petunjuk Allah. Firman Allah SWT :
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah
tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di
atas memberi pengertian bahwa manusia ciptaan Allah dengan naluri beragama
tauhid yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya, Hasan Langulung
memberi pengertian fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua kemampuan
manusia yang memerlukan penempaan lebih lanjut dan lingkungan insani maupun non
insani untuk bisa berkembang. Untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya
tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain yaitu proses pendidikan.
E. Tugas dan Tanggungjawab Peserta Didik
Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah menta’lim, mentarbiyah, atau
menta’dibkan al-‘ilm ke dalam diri setiap peserta didik. Al-‘ilm yang akan
dita’-lim, ditarbiyah, atau dita’dibkan tersebut adalah al-haqq, yaitu semua
kebenaran yang datang dan bersumber dari Allah Swt, baik yang didatangkan-Nya
melalui Nabi dan Rasul, (al-ayah al-quraniyah), maupun yang dihamparkan-Nya
pada seluruh alam semesta, termasuk diri manusia itu sendiri (al-ayah
al-kauniyah). Al-‘ilm tersebut merupakan penunjuk jalan bagi peserta didik
untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya terhadap Allah
Swt sehingga ia mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan keserharian.
Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama setiap peserta didik adalah
mempelajari al-‘ilm dan mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang kehidupan.
Berkenaan dengan tugas utama yang harus dilakukan peserta didik ini,
Rasulullah saw melalui salah satu hadis menegaskan : menuntut ilmu merupakan
kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Proses menuntut atau mempelajari
al-‘ilm itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, baik yang
tersurat maupun yang tersirat, mengeksplorasi, meneliti, dan mencermati
fenomena diri, alam semesta, dan sejarah umat manusial berkontemplasi,
berpikir, atau menalar, berdialog, berdiskusi atau bermusyarah, mencontoh atau
meneladani, mendengarkan nasehat, bimbingan, pengajaran dan peringatan, memetik
‘ibrah atau hikmah, melatih atau membiasakan diri, dan masih banyak lagi aktivitas
belajar lainnya yang harus dilakukan setiap peserta didik untuk meraih al-ilm
dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Seluruh aktivitas pembelajaran sebagaimana dipaparkan di atas wajib
ditempuh atau dilakukan peserta didik dalam proses belajar atau menuntut
al-‘ilm. Karenanya, peserta didik tidak boleh mencukupkan aktivitas belajarnya
pada suatu aktivitas saja. Dalam berbagai surah, alquran senantiasa menyeru
manusia untuk berpikir, mengingat, membaca, mengambil pelajaran, memetik
hikmah. Bereksplorasi, bertadabbur, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar
peserta didik mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga mampu
diberdayakan dalam rangka aktualisasi diri sebagai makhluk yang bersyahadah
kepada Allah Swt, beribadah secara tulus ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi
khalifah atau pemimpin dan pemakmur kehidupan dibumi.
Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif falsafah pendidikan
Islami, tanggung jawab utama peserta didik adalah memelihara agar semua potensi
yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat diberdayakan sebagaimana mestinya.
Dimensi jismiyah wajib dipelihara, agar secara fisikal peserta didik mampu
melakukan aktivitas belajar, meskipun harus melakukan rihlah ke berbagai
tempat. Demikian pula, dimensi ruhiyah juga wajib dipelihara, agar bisa
difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk melakukan aktivitas belajar.
Ketika peserta didik tidak mampu memelihara dimensi jismiyah dan ruhiyahnya,
maka energi, daya, atau kemampuan membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa
menjadi tidak mampu. Karenanya, sebagaimana juga dikemukakan Nata, agar tetap
mampu melakukan aktivitas belajar, setiap peserta didik memerlukan kesiapan
fisik prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang tenang. Untuk
itu, perlu adanya upaya pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua
potensi yang bisa digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan.
Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban yang harus
senantiasa dilakukan peserta didik adalah :
1.
Sebelum memulai aktivitas pembelajaran, peserta didik harus terlebih dahulu
membersihkan hatinya dari sifat yang buruk, karena belajar mengajar itu
merupakan ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang bersih.
2.
Peserta didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya dengan berbagai
keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
3.
Bersedia mencari ilmu ke berbagai tempat yang jauh sekalipun, meskipun
harus meninggalkan
4.
keluarga dan tanah air.
5.
Tidak terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir panjang sebelum
menukar guru.
6.
Hendaklah menghormati guru, memuliakan dan mengangungkannya karena Allah
serta berupaya menyenangkan hatinya dengan cara yang baik.
7.
Jangan merepotkan guru, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat
duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum diizinkan guru.
8.
Jangan membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru membukakan rahasia,
dan jangan pula menipunya.
9.
Bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar
10.
Saling bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.
11.
Peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru dan
mengurangi percakapan dihadapan gurunya.
12.
Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik diwaktu senja
dan menjelang subuh atau diantara waktu Isya’ dan makan sahur
13.
Bertekad untuk belajar seumur hidup.
F. Sifat-Sifat Peserta Didik
Sesuai dengan karakter dasarnya, dalam Islam, ilmu itu datangnya dari
al-haq dan karenanya ia merupakan al-nur atau cahaya kebenaran yang akan
menerangi kehidupan para pencarinya. Sebagai al-haq, Allah Swt maha suci, dan
kesuciannya hanya bisa dihampiri oleh yang suci pula. Karenanya, sifat utama
dan pertama yang harus dimiliki peserta didik adalah mensucikan diri atau
jiwanya (tazkiyah) sebelum menuntut ilmu pengetahuan. Karena maksiat hanya akan
mengotori jasmani, akal, jiwa dan hati manusia, sehingga membuatnya sulit dan
terhijab dari cahaya, kebenaran, atau hidayah Allah Swt.
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi titik fokus perhatian peserta didik dan
orang tua dalam mensucikan dirinya secara totalitas. Pertama, suci ruhaniah
yaitu peserta didik harus menjauhkan sifat-sifat yang dapat merusakan atau
paling tidak yang mengotori jiwa dari sucinya al-nur, atau al-haq. Karena
kekotoran jiwa akan mengakibat tertutupnya sinar illahiyah menembus kalbu
peserta didik. Ringkasnya al-‘ilm atau al-nur harus di ta’lim, di tarbiyah atau
dita’dibkan ke dalam jiwa peserta didik haruslah dalam keadaan suci dan bersih,
sehingga ia akan dapat tertanam dan bersemi dengan penuh keberkahan di dalam
sanubarinya. Kedua, suci jasmaniah yaitu peserta didik harus mampu menjauhkan
dari dari mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang tidak benar baik dari segi
jenis mampu sumber diperolehnya makanan/minuman tersebut. Makanan yang tidak
benar/jelas, bukan makanan yang diperoleh secara halal, akan mempengaruhi
kepribadian peserta didik dalam berperilaku, dan akan susah mendapatkan hidayah
kebenaran dari Allah Swt.
Sebab itu, orang tua harus memberi makan peserta didik dengan makanan yang
baik dan halal serta bersih, sehingga nusrah Allah akan dapat dengan mudah
diterima oleh peserta didik. Disamping itu juga bersih badan dari kotoran,
najis serta lainnya yang dapat menggangu kesehatan fisik hidup yang baik.
Jangan biasakan peserta didik bergaul dengan lingkungan yang dapat memberi
pengaruh yang tidak baik dalam perkembangan kehidupan sosialnya.Hal ini akan
berbias kepada terkontaminasinya pembiasaan yang jelek kepada peserta didik.
Makanya orang tau harus dapat menjaga dan mengerti tentang ini, sehingga
peserta didik dapat tumbuh dan kembang baik secara ruhaniah, jasmaniah maupun
sosialnya dengan penuh kebaikan.
Zainuddin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, beliau mengutip hadis
Shahih Muslim dan Bukhari dalam mengemukakan sifat dan karakter yang dimiliki
anak didik. Berikut beberapa sifat dan karakter yang harus dimiliki seorang
anak didik:
1. Memiliki sifat tamak dalam menuntut ilmu
dan tidak malu-malu. Mujahid berkata, “Pemalu dan orang sombong tidak akan
dapat mempelajari pengetahuan agama.” Aisyah berkata, “sebaik-baik kaum wanita
adalah kamu wanita sahabat Anshar. Merak tidak dihalang-halangi rasa malu tidak
dihalang-halangi rasa malu untuk mempelajari pengetahuan yang mendalam tentang
agama.”
2. Selalu mengulang pelajaran di waktu malam
dan tidak menyia-nyiakan waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu.
3. Memanfa’atkan/mengajarkan ilmu pengetahuan
yang telah dimiliki.
4. Memiliki keinginan/motivasi mencari ilmu
pengetahuan.
Peserta didik hendaknya berupaya memiliki akhlak mulia, baik secara
vertikal maupun horizontal dan senantiasa mengembangkan potensi yang
dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan. Sebagai seorang peserta didik
yang berupaya mencari ilmu pengetahuan dan membentuk sikap dengan akhlak mulia,
maka menurut Hamka peserta didik dituntut bersikap baik pada setiap guru.
Sikap tersebut meliputi :
a.
Jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu
b.
Jangan lalai dalam menuntut ilmu dan cepat merasa puas terhadap ilmu yang
sudah diperoleh;
c.
Jangan merasa terhalang karena faktor usia
d.
Hendaklah diperbagus tulisannya supaya orang bsia menikmati hasil karyanya
dan membiasakan diri membuat catatan kecil terhadap berbagai ide yang sedang
dipikirkan;
e.
Sabar, perteguh hati dan jangan cepat bosan dalam menuntut ilmu
f.
Pererat hubungan baik dengan guru dan senantiasa hadir dalam majelis
ilmiahnya, hormati pendidik sebagai orang yang telah banyak berjasa dalam
membimbing ke arah kedewasaan, baik ketika proses belajar maupun setelah
menamatkan pelajaran padanya
g.
Ikuti instruksi guru dalam setiap proses belajar mengajar dengan khusyu’
dan tekun
h.
Berbuat baik terhadap guru dan kedua orang tua, serta amalkan ilmu yang
diberikannya bagi kemaslahatan seluruh umat;
i.
Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah. Biasakan berkata sesuatu yang
bermanfaat karena itu sebagai ciri orang yang berilmu dan berfikiran luas;
j.
Ciptakan suasana pendidikan yang merespon dinamika fitrah yang dimiliki
seperti suasana gembira.
k.
Biasakan diri untuk melihat memikirkan dan melakukan analisa secara seksama
terhadap fenomena alam semesta. Dengan ini maka peserta didik akan menyelami
kebesaran Allah dan selanjutnya berbuat kebajikan terhadap alam semesta.
G. Etika Peserta Didik
Sebagaimana dijelaskan oleh Asma Fahmi, bahwa setiap peserta didik harus
memiliki dan berprilaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti
berikut ini :
a.
Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum
menuntut ilmu, yaitu menjauhkan dari sifat-sifat yang tercela seperti dengki,
benci, menghasud, takabur, menipu, berbangga-bangga dan memuji diri serta
menghiasi diri dengan akhlak mulia seperti benar, takwa, ikhlas, zuhud,
merendahkan diri dan ridha;
b.
Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat
keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegah-megah dan
mencari kedudukan. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ilallalah.
Konsekuensi dari sikap ini, peserta didikkan senantiasa mensucikan diri dengan
akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan
watak dan akhlak yang rendah (tercela).
c.
Peserta didik tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan
apa saja karena ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari
tiap-tiap ilmu yang pantas baginya, dan tingkatan yang wajib baginya;
d.
Peserta didik wajib menghormati pendidiknya
e.
Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh serta tabah dalam
belajar.
Ibnu Qayyim sendiri menjelaskan ada sebelas etika peserta didik ,
diantaranya;
1.
Jika peserta didik ingin meraih kesempurnaan ilmu, henadklah ia menjauhi
kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangannya dari hal-hal yang
diharamkan untuk dipandang
2.
Mewaspadai terhadap tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (hidup
kesia-siaan) dan majelis-majelis yang buruk’
3.
Bid’ah , sangat berbahaya bagi kebersihan hati.Hati yang telah tercemar
noda bid’ah menjadi tidak mampu memahami Alquran, karena tidak bisa memahami
Alquran kecuali hati yang suci.
4.
Senantiasa menjaga waktunya, dan jangan sekali-kali membuangnya dengan
membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah, berbohong, dan obrolan yang tidak
jelas ujung pangkalnya. Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak
memiliki ilmu tentangnya
5.
Tidak berbicara kecuali ketika jika sudah jelas kebenarannya/ hakikatnya
dan telah tampak masalah itu jelas baginya
6.
Menghindari diri membanggakan diri dengan harta, kedudukan dan kenikmatan
dunia karena sangat dicela oleh syariat
7.
Hendaknya mengetahui bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak bisa
terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan
8.
Segera mengamalkan ilmu yang telah didapatinya agar selalu terjaga dan
tidak mudah hilang
9.
Memiliki pemahaman yang baik dan niat yang lurus, supaya hatinya terjauhkan
dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan seseorabg
10.
Selalu mencari hakikat suatu masalah dan berusaha mendapatkannya dari mana
saja sumbernya, sebagaimana wajib atasnya untuk tidak ta’ashshub (fanatic)
kepada pendapat seseorang
11.
Jika peserta didik itu memiliki keutamaan dengan mendapat balasan dari
Allah berupa dilapangkannya
12.
jalan menuju surge. Maka sepatutnya para peserta didik senantiasa mangingat
pahala yang besar tersebut agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat
mencari ilmu.
Sedangkan kode etik personal peserta didik yang harus dapat dilaksanakan
oleh peserta didik yaitu :
1.
Membersihkan hati dari kotoran, sifat buruk, aqidah keliru, dan akhlak
tercela.
2.
Meluruskan niat, peserta didik harus menuntut ilmu demi Allah untuk
menghidupkan syari’at Islam, menyinari hati dan mengasah batin dalam rangka
mendekatkan diri kepadaNya. Dengan belajar itu ia bermaksud hendak mengisi
jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah bermaksud
menonjolkan diri;
3.
Menghargai waktu dengan cara mencurahkan perhatian sepenuhnya bagi urusan
menuntut ilmu pengetahuan;
4.
Menjaga kesederhanaan makanan dan pakaian. Mengurangi kecederungan pada
kehidupan duniawi dibanding ukhrawi. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua
dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan
amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal;
5.
Membuat jadwal kegiatan yang ketat dan teratur. Peserta didik mengalokasikan
waktu secara jelas kedalam satu jadwal kegiatan harian yang berisi kegiatan
belajar yang relevan
6.
Menghindari makan terlalu banyak, yang terbaik adalah sedikit makan, selain
makruh makan terlalu banyak juga akan menimbulkan malas dan kantuk bahkan serangan
penyakit;
7.
Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menyebabkan kebodohan dan lemahnya
indera, seperti apel asam, kubis, atau cuka, juga kebanyakan lemak dapat
menumpulkan otak dan menggemukan tubuh;
8.
Menimalkan waktu tidur, tetapi tidak mengganggu kesehatan. Penuntut ilmu
tidak boleh tidur lebih dari delapan ham satu hari satu malam, sebab tidur
hanya diperlukan dalam rangka istirahat serta menyegarkan kembali badan dan
pikiran untuk kembali belajar.
9.
Membatasi pergaulan hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi pelajar.
Teman yang harus dicari ialah orang taat beragama, wara’, cerdas, baik dan
gemar membantu, sebab bergaul dengan orang yang kurang peduli ilmu pengetahuan
biasanya memboroskan harga serta menyia-nyiakan umur.
Mengenai adab Murid dan Guru Menurut Al-Ghazali, adab murid dan guru itu
ada sepuluh bagian:
Ø Hendaknya mendahulukan kesucian jiwa
daripada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu adalah ibadah
hatinya,shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah.
Ø Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan
dunia, karena ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan
Ø Tidak menekuni semua bidang ilmu secara
sekaligus tetapi menjaga urutan dan dimulai dengan yang paling penting.
Ø Hendaklah tidak memasuki satu cabang ilmu
sebelum menguasai ilmu yang sebelumnya.
Ø Hendaklah mengetahui faktor penyebab yang
dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia.
Ø Hendaklah tujuan murid di dunia adalah
untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akhirat
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bias
berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang
didekatkan.
Ø Hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan
tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat daripada yang jauh, dan
yang penting daripada yang lainnya.
Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat
jelas bahwa mewujudkna manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berakhlak mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan
dalam konsep pendidikan Islam itu sendiri.
Demikian pula peserta didik, juga diharapkan tidak terjebak pada paham
pragmatisme dan materialisme. Ada kecenderungan ketika peserta didik bersikap
demikian, maka guru pun kurang dihormati. Guru hanya dianggap sebagai instrumen
atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah alat, ia
akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun
tidak dihormati lagi.
Untuk itu, peserta didik juga harus memahami apa tugas dan tanggung
jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam. Peserta didik
yang dalam pandangan pendidikan Islam sering disebut sebagai murid sebenarnya
memiliki arti ”orang yang menginginkan”. Artinya, seorang murid atau peserta
didik harus menunjukkan sikap yang membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa
”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat sesaat ketika ada perlu saja, tetapi
dalam pandangan pendidikan Islam, seorang guru tidak hanya dihormati di saat
belajar pada sekolah formal saja, sehingga disebut pula bahwa ”tidak ada mantan
guru dalam pandangan pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti ini maka seorang
peserta didik harus menunjukkan sikap kesungguhannya dalam belajar dibarengi
dengan adab-nya kepada guru dengan harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi
dirinya.
Selain itu, peserta didik juga harus menuntut ilmu didasari oleh motivasi
awal, yaitu motivasi karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka selama dalam
menuntut ilmu ia harus meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal
ini pula yang pernah dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta
nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa
hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa
nur Allahi la yubdalu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu
digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan
tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian
irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan
(transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang
berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allah
Ta’ala.
BAB III
KESIMPULAN
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara
fisik maupun psikologis (Muhaimin dan Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai
tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islam seluruh makhluk ciptaan Allah
Swt merupakan peserta didik. Namun secara khusus dalam pendidikan Islam,
peserta didik adalah seluruh al insan, al-basyar atau bani adam yang sedang
menuju al-insan al-kamil, baik dalam pengertian jismiyah maupun ruhiyah.
Ketiga istilah tersebut yaitu pertama, term mengandung pengertian bahwa
peserta didik dalam arti mutarabbi manusia yang selalu memerlukan pendidikan,
baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik – biologis, penambahan
pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta
pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan
tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi
alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta didik mempelajari semua al-asma’kullah
yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian
pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia
ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap
apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu
sendiri dalam filsafat pendidikan Islam.
Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan
fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
DAFTAR PUSTAKA
- lmu pendidikan Islam, Dra. Hj. Nur Uhbiyati, cv. Pustaka Setia, 1998.
-Hartoto
- Deninursamsi, wordpress. Com/2009
-Hartoto
- Deninursamsi, wordpress. Com/2009
- Zainal Muttaqin, http://izaskia.wordpress.com/2009/12/13/hakekat-pendidik-dalam-pandangan-islam-bagian-3-dari-5-seri-tulisan/#_ftn1
.
- Azzamcollege.wordpress.com/2009/11/15/pendidikan-dalam-perspektif-islaM
0 komentar
Posting Komentar